ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Terkendala Regulasi, Go-jek Dipertanyakan

Sumber Foto: marketeers.com
BANDUNG | Saat ini di kota kota besar di Indonesia tengah diramaikan dengan adanya fenomena jalanan yang menjadi hijau. Namun mereka tidak diam seperti halnya pohon di pinggir jalan, tetapi melintas di jalan-jalan besar, khususnya di Kota Bandung.

Banyak dari pengendara sepeda motor yang memakai seragam berwarna hijau bertuliskan “Go-Jek” ini beberapa waktu lalu sempat membuat gempar warga Cibiru, Kota Bandung.

Go-Jek sendiri sudah mempunyai tempat tersendiri di hati para customer. Dengan identitas helm berwarna hijau, dapat dipastikan bahwa mereka adalah driver Go-Jek. Saat ini, fenomena Go-Jek hadir karena seringnya terjadi kemacetan di ruas jalan-jalan besar ibukota.

Hingga saat ini, driver Go-Jek di Kota Bandung sudah mencapai sekiranya 2000 driver, yang setiap harinya bisa mendapatkan penghasilan yang tidak menentu. Jika driver tersebut beruntung, maka penghasilan akan mencapai sekitar 250 ribu rupiah per hari.

Semakin hari penggemar Go-Jek semakin banyak, namun tidak adanya regulasi mengenai keselamatan penumpang, menjadikan penumpang Go-Jek harus berpikir ulang. Belum adanya regulasi mengenai Go-Jek ini tidak bisa menjadikan Go-Jek sebagai alat transportasi umum seperti angkot atau bus kota.

Menurut BSPH GMKI Bandung, menilik UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), sepeda motor tidak diakui sebagai “Kendaraan Bermotor Umum,” yang sesungguhnya fungsi transportasi publik.

Pasal 47 UU LLAJ hanya mengizinkan mobil penumpang, mobil bus, dan mobil barang yang dapat menjalankan fungsi transportasi publik.

Kendaraan yang digunakan untuk menjadi kendaraan umum, sebelumnya harus memenuhi uji kelayakan jalan bermotor berkala, dan mendaftarkan asuransinya. Namun, untuk Go-Jek hal itu tidak diberikan oleh pihak perusahaan. Karena pada dasarnya, driver gojek yang mendaftar hanya disebut sebagai mitra, tanp adanya status kepegawaian.

Kami tidak mendapatkan informasi dari kapolsek, dishub dan kantor cabang gojek. Karena pihak mereka menolak memberi keterangan.

Ketika kami menyambangi kantor gojek di jalan BKR Bandung, salah satu pegawai kantor gojek, Pak Alex, memberikan keterangan singkat mengenai perekrutan saja.

“Jadi kalau mau daftar gojek, pertamanya harus daftar kirim email dulu, nanti kalau ada balasan konfirmasi baru datang ke kantor gojek, baru nanti diseleksi dan di training. Kalau syaratnya harus membawa SIM, KTP STNK, dan KK. Pendidikan minimalnya SMP, dan motor milik pribadi. Asuransi ada, asal customer booking gojek dari aplikasinya agar terdaftar di system gojeknya,” pungkas Pak Alex.

Kami juga mendapatkan kabar terkait gojek sesuai yang dibutuhkan dari media sosial 'line'. Ditulis BSPH GMKI Bandung.

Go-Jek, Pandangan Yuridis

Kota-kota besar di Indonesia sudah semakin hijau. Bukan karena pohon atau semak yang tumbuh, tapi karena pengendara sepeda motor yang berseliweran menggunakan jaket dan helm berwarna hijau. Siapa lagi yang berhasil membuat fenomena ini kalau bukan Go-Jek?

Layanan transportasi berbasis aplikasi ini ditelurkan oleh Nadiem Makarim, sang Chief Executife Officer Go-Jekyang sedari dulu memang pengguna setia ojek. Pengalamannya menggunakan ojek tengah macetnya jalanan adalah inspirasinya daam mendirikan Go-Jek.

Hingga Oktober 2015, pengemudi Go-Jek di kawasan Jabodetabek saja sudah mencapai 200.000 orang. Entah berapa lagi jumlahnya jika ditambahkan di kota-kota seperti Bandung, Surabaya, Bali, dan kota lainnya.

Berhasilnya Go-Jek dalam membuat fenomena “penghijauan” kota-kota besar di Indonesia, akhirnya diganjar dengan Juara I dalam kompetisi bisnis Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI) di Bali.

Namun, di tengah pertumbuhan Go-Jek yang grafiknya semakin menanjak ini, ada pertanyaan yang nampaknya belum secara lugas dijawab oleh pihak terkait, baik itu pembuat kebijakan maupun pihak Go-Jeksendiri. Apakah layanan ojek ini dapat disebut sebagai sarana transportasi umum layaknya Angkot, Bus Kota, Kopaja, atau MetroMini?

Menilik UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), sepeda motor tidak diakui sebagai “Kendaraan Bermotor Umum”, yang sesungguhnya merupakan prasyarat untuk menjalankan fungsi transportasi publik. Pasal 47 UU LLAJ hanya mengizinkan mobil penumpang, mobil bus, dan mobil barang yang dapat menjalankan fungsi transportasi publik.

Selain itu, kendaraan yang digunakan transportasi umum wajib mengurus izin operasi, uji kelayakan jalan bermotor berkala, dan asuransi. Tentunya, hal ini berbeda dengan Go-Jek, khususnya driver mereka, yang hanya membayar pajak tahunan sepeda motor saja.

Alasan lain yang menegasikan status Go-Jeksebagai transportasi umum adalah pernyataan dari Nadiem Makarim sendiri, yang menyatakan bahwa Go-Jek adalah perusahaan teknologi informasi, dan bukan perusahaan transportasi (lihat Majalah Tempo, Edisi 2 November 2015). Padahal, fungsi transportasi publik sendiri harus dijalankan oleh Perusahaan Angkutan Umum (Pasal 1 angka 21, UU LLAJ).

Selain keberadaan Go-Jek yang unregulated, ada masalah lain yang juga cukup menarik, yaitu hubungan antara pengemudi Go-Jekdengan perusahaan Go-Jek itu sendiri. Meski memakai atribut dan ornamen perusahaan, status dari pengemudi Go-Jek bukanlah karyawan dari perusahaan Go-Jek. Mereka justru berstatus sebagai “mitra”, yang didasarkan pada perjanjian individual, dan memiliki kedudukan setara.

Merujuk pada UU No. 13 Tahun 20013 tentang Ketenagakerjaan, pekerja dengan hubungan berdasarkan kemitraan tidak harus tunduk pada ketentuan waktu kerja, tidak tunduk pada ketentuan istirahat cuti, tidak tunduk berapa hari kerja dalam seminggu dan tidak tunduk sakit berupah. Dengan kata lain, pengemudi Go-Jekbukanlah pekerja/buruh, dan karenanya tidak memiliki hak-hak yang melekat pada pekerja yang mengalami PHK, seperti uang pesangon dan uang ganti rugi.

Dari analisis yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran Go-Jekbagaikan dua sisi mata uang. Keberadaannya memiliki plus dan minus masing-masing. Secara praktis, Go-Jekmemang sangat membantu dan memudahkan aktivitas masyarakat ke manapun mereka pergi.

Namun, dari aspek yuridis, hadirnya Go-Jekini tidak sesuai dengan hukum yang berlaku ssaat ini. Pilihannya sendiri adalah mengubah kerangka peraturan perundang-undangan yang ada, untuk mengakomodasi eksistensi ojek sebagai salah satu moda transportasi umum. Atau bisa juga memaksa Go-Jek menyesuaikan layanannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [] 

Jurnalistik VC UIN Bandung 
Tiam Liputan:
Jingga Dhelia Munggaran, Maila Siti Nurmala, M. Ilham Hidayatuloh, M. Aziz, Mulyati, Muthi Afina Kusnadi, Mutia Putri Rizkia,Randi

Sumber Foto: marketeers.com BANDUNG | Saat ini di kota kota besar di Indonesia tengah diramaikan dengan adanya fenomena jalanan yang me...

Menelisik Kisruh Angkutan Umum Trayek 05

Editor : Iqbal Pratama Putra

PRFM News
BANDUNG | Pengguna media sosial di Kota bandung serempak mengeluhkan perilaku supir angkutan umum trayek 05, jurusan Cicaheum- Cibaduyut. Perilaku yang tidak sopan, ugal-ugalan hingga kasus pemukulan terhadap penumpang  Oktober lalu,  membuat warga Bandung geram yang akhirnya bebagai protes berdatangan pada pemangku kebijakan.

Keluhan warga tentang Angkot 05 kian hari kian menjadi cerita panjang yang berujung pada kebijakan pemerintah Kota bandung mengumumkan peniadaan angkot 05 tersebut. Namun apakah itu jalan terbaik dan tepat yang dilakukan pemerintah, alih-alih memberi solusi malah timbul masalah baru yakni saling klaim trayek supir satu dengan supir lainya. Bukan saling menguntungkan malah berujung rugi.

Pengguna akun twitter @ade_rr mengabarkan pada linimasa dirinya menjadi korban pemukulan oknum supir angkot 05 dengan nomer polisi D1980cc. Dirinya mengaku dipukul saat hendak meminta uang kembalian. “Saya kasih lima ribu, dikembalikan cuma seribu. Saya coba lagi minta seribu malah dipukul,”kata Ade (dilansir beritagar.id). Kicauan Ade di media sosial akhirnya mendapat banyak komentar dari masyarakat Kota Bandung hingga ada salah satu media yang membuka program khusus pengaduan tentang angkot 05. Setelah menjadi obrolan hangat selama dua minggu akhirnya pemrintah mengambil tindakan untuk mengganti angkot 05 menjadi angkot 08.

Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung Ricky Gustiadi mengatakan, trayek 05 diganti menjadi trayek 08. Jurusan trayek 08 masih sama dengan trayek 05 yaitu Cicaheum-Cibaduyut, namun rute yang akan dilalui berbeda dengan trayek 05 (Pikiranrakyat.com). Sebelumya Ricky Gustiadi menjelasakan hal tersebut dilakukan untuk memperbaiki citra buruk angkot 05. Warna hijau dengan nomer trayek 08 mulai 3 November lalu sudah mulai terlihat di jalan soekarno hatta Kota Bandung.

Sebanyak 100 unit angkot 05 berwarna merah diubah menjadi angkot 08 yang kini berwarna hijau.
Perubahan trayek baru angkot 05 yang kini angkot 08  tidak memberikan solusi. Jalur perubahan yang digunakan angkot 08 ternyata bersingungan dengan angkot 18 jurusan Panghegar-Dipatiukur. Terjadi saling adu mulut hingga berujung pada perkelahian antara sopir angkot 08 dengan angkot 18 Panghegar-Dipatiukur. Menanggapi hal tersebut Pemerintah Kota Bandung menggelar pertemuan antara kedua belah pihak dan berusaha mencari solusi, namun masih belum ada kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak.

Seperti dilansir Galamedia (25/11) lalu, Koperasi Bandung Tertib (Kobatri) sebagai Pembina pengemudi angkot 18 dan Koperasi Bina Usaha Transportasi (Kobutri) bersikukuh dengan keputusannya masing-masing. Pihak Kobanter menuntut Pemkot Bandung mengembalikan rute angkot 08, ke rute sebelumnya. Sedangkan Kobutri meminta ketegasan Pemkot Bandung memberlakukan rute baru yang telah disepakati.

Solusi Sementara 

Masih belum ada solusi yang cukup untuk meredakan konflik yang terjadi. Dinas Perhubungan Kota Bandung (07/12/205) mengumumkan sementara angkot 08 yang semula melewati terminal cicaheum kini dialihkan ke terminal antapani. Namun hal tersebut masih saja dinilai berat sebelah, seperti tanggapan supir angkot 08 yang ingin dirahasiakan identitasnya, yang merasa tidak nyaman dengan kondisi sekarang.

“Nah justru itu pemerintah diem aja, sekarang supir ini mah korban kalau itu mah tumbal, disana di tolak disini di tolak. Seharusnya pemerintah bertindak, masa Wali kota kalah sama Panghegar ya bingung kan, penggusaha Bandung kalah sama Panghegar, ini kan programnya pemerintah. Kata
Dishub kan ngga boleh muter-muter tapi kita ditolak, akhirnya supir jadi korban, masih boleh kalau ke antapani, di alihkan ke terminal antapani juga baru 3 hari, ya ngga bisa disalahkan ya kalau masalah yang menyangkut perut. Tapi alangkah baiknya kita bicara tanpa memakai kekerasan jangan main fisik. Tapi kalau misalkan pemerintahnya peka, tegas ya cabut aja, ya dia kan yang lebih kuasa, cabut ajah trayek nya kalau ngga gitu mah pasti terus-terus ajah,” ujar Sopir angkot 08 (10/12/2015).

Dirinya merasa dirugikan dengan keputusan Dinas Perhubungan mengalihkan ke terminal Antapani. “Kalau lewat sini mah bukan untung tapi rugi, ruginya kan nambah bahan bakar, kalau lewat Cicaheum ada subsidi. Dulu waktu lewat caheum berangkatnya lewat belakang Cicaheum tapi pulangnya lewat Cicadas, di sini mah jalurnya macet,” ujarnya.

Permasalahan antara sopir angkutan umum tentu juga berdampak pada penumpangnya. Salah satunya Yayang Adisti (30).

“Saya rasa sama saja, tetapi mungkin ada sedikit perubahan, mungkin mereka agak lebih sopan. Kalau dulu-dulu, bagi saya pribadi, saya ngambil jalan tengah, mau narik ongkos sekian sekian saya gak pernah protes, cuma mungkin untuk sebagian orang saja karna kejadian kemarin. Tapi kalau sekarang agak lebih baik. Kalau untuk yang ngetem-ngetemnya masih ada. Tetapi saya perlu banget angkot yang tadinya 05 ke 08 saya perlu banget. Sementara kalau gak ada bus, saya alternatifnya pakai angkot 08 ini,” ujarnya.

Meskipun sempat dipenuhi konflik yang berkepanjangan kini permasalahan transportasi di Kota Bandung sedang dalam tahapan pembenahan. Segala upaya dilakukan pemerintah untuk memberikan fasilitas terbaik bagi masyarakat. Seperti halnya rencana pembangunan jalan bawah tanah dan pengadaan kereta gantung untuk menanggulangi kemacetan.

Kurang Sosialisasi

Terkait hal tersebut Pakar transportasi massa Agam Koswara menilai keputusan pemerintah untuk meniadakan trayek 05 sudah benar, hanya saja perlu adanya sosialisasi dengan sopir angkutan umum lainnya. “Digantinya Angkot 05 dengan Angkot trayek baru saya sangat setuju, Karena akan menghilangkan pandangan negative terhadap angkot 05 serta menghilangkan aksi oknum yang tidak bertanggung jawab. Jika terjadi konflik atau gesekan dengan angkot trayek lain seperti, Panghegar – Dipatiukur, Cicadas – Elang atau lainnya harus bisa dikondisikan atau disosialisasikan terlebih dahulu atau dibuat jalan solusinya,” ujar Agam.

Agam menambahkan komentarnya tentang pemerintah yang harus segera bertindak cepat menangani kasus ini. “Ketika sudah terjadi gesekan fisik atau konflik lanjutan antara angkot trayek 05 dengan lainnya harus ada pihak yang bertanggung jawab, Karena pada dasarnya semua angkutan umum itu kan mencari nafkah. Untuk meminimalisir hal ini perlu ada kajian dan ke efektifan angkot ini, karena seberapa besar dampak baik dan buruknya. Kalu masih banyak hal yang tidak diinginkan lebih baik cabut kembali saja, karena yang merasa dirugikan kan public,” ujar Agam.

“Meskipun sempat dipenuhi konflik yang berkepanjangan kini permasalahan transportasi di Kota Bandung sedang dalam tahapan pembenahan. Segala upaya dilakukan pemerintah untuk memberikan fasilitas terbaik bagi masyarakat. Seperti halnya rencana pembangunan jalan bawah tanah dan pengadaan kereta gantung untuk menanggulangi kemacetan,”ujar Agam.

Hingga kini angkot 08 dipindah jalurkan menuju terminal Antapani padahal sebelumnya menuju terminal Cicaheum. Masih belum ada tindak lanjut pemerintah terkait hal tersebut. []

Kru Jurnalistik VB UIN Bandung

  • Reporter: Fahmi Nauval Aziz (Korlip), Fajar Irdam, Ifka Azmi, Elang Ratnasari Hamidah Prawestri, Jamal Ramadhan, Intan Resika





Editor : Iqbal Pratama Putra PRFM News BANDUNG | Pengguna media sosial di Kota bandung serempak mengeluhkan perilaku supir angkutan...

Ada Kisruh di Tubuh Go-Jek?

Sumber Foto: Jawa Pos
BANDUNG | Persaingan antara Opang (Ojek Pangkalan) dengan Go-jek di Kota Bandung menjadi kontroversial di kalangan masyarakat saat ini. Di beberapa lokasi Opang, terpampang larangan Go-jek untuk melintasi kawasan tersebut. Selain persaingan konsumen antara dua kubu, diantara driver Go-jek sendiri pun terjadi perbedaan.

Menurut driver Go-jek, Rolin, keadaan sistem Go-jek saat ini tidak menguntungkan bagi para driver. Hal ini terlihat dari tarif normal yang ditetapkan perusahaan Go-jek Bandung. “Sekarang tarifnya jadi 3000 rupiah per kilo (kilo meter), belum lagi dipotong 20 persen,” ungkapnya.

Selain tarif, aplikasi untuk driver Go-jek juga tidak merata. Rolin mengakui ada perbedaan antara aplikasi versi 74 dan aplikasi terbaru versi 81. Perbedaan ini terlihat dari kecepatan menerima dan mengambil order. Padahal sebelumnya, aplikasi 74 dinyatakan diblokir. Namun, pada kenyataanya aplikasi tersebut masih digunakan beberapa driver. “Aplikasi untuk driver sudah beberapa kali di-update dan sekarang yang paling terbaru versi 81,” ujar Rolin.

Dugaan adanya penggunaan aplikasi yang menyalahi aturan ini diakui Yusef, salah seorang driver Go-jek.  “Aplikasi 74 itu beli ke orang dalem, makanya mereka bisa cepat dari kami,” jelas Yusef. Perbedaan aplikasi ini terlihat, saat order masuk ke smartphone driver seharusnya menunggu terlebih dahulu selama 6 detik kemudian order bisa diterima. Namun hal ini tidak berlaku untuk versi 74, order bisa langsung diterima tanpa menunggu.

Saat ini beberapa driver Go-jek melakukan resign (mengundurkan diri) dari perusahaan Go-jek Bandung. Terlihat pada Rabu (25/11) kemarin, puluhan driver mendatangi kantor Go-jek di jalan BKR, Kota Bandung, untuk melakukan resign. Hal ini timbul dari ketatnya persaingan dan ketidakjelasan sistem perusahaan Go-jek. Mulai dari tarif, aplikasi, hingga cicilan yang harus dibayar driver. “Cicilan nya nggak jelas pemotongannya,” jelas Rolin.

Ada beberapa cicilan yang harus dibayar oleh driver, diantaranya helm, jaket, dan handphone. Masing-masing barang dicicil dengan ketentuan yang diatur  pihak perusahaan. “Misal helm dan jaket dicicil 15.000 rupiah per-hari,” jelas Yusef, salah seorang driver Go-jek. sedangkan HP yang harus dicicil driver sebesar 9000-20.000 rupiah per-minggu.

“Potongan tetap jalan walaupun kami (driver) nggak narik. Jadi hasilnya ya mines,” tambah Rolin. Hal tersebut dibenarkan Yusef, ia menceritakan salah seorang driver harus membayar secara penuh uang cicilan serta mengembalikan semua fasilitas kepada perusahaan. “dia (driver) padahal baru dua bulan bekerja, yang lebih dipersulit lagi jaminan dia pake ijazah,” jelas Yusef.

Yusef juga menghawatirkan aplikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Bandung, Akod.  Kekhawatiran ini akan menjadi persaingan tambahan bagi driver Go-jek.  “Sebenarnya kami terpaksa nge-Go-jek, awalnya saya ngojek biasa di pangkalan, tapi karena persaingan saya jadi Go-jek,” pungkas Rolin. [] Calam Rahmat | Jurnalistik VA UIN Bandung

Sumber Foto: Jawa Pos BANDUNG | Persaingan antara Opang (Ojek Pangkalan) dengan Go-jek di Kota Bandung menjadi kontroversial di kalangan...


Top
Select options on the left to generate your code...